IQNA

Suarakan Penolakan Normalisasi dengan Israel, Fathimiah-HPI Iran Gelar Webinar

14:49 - May 15, 2022
Berita ID: 3476820
TEHERAN (IQNA) - Menyikapi tren normalisasi yang dilakukan sejumlah negara muslim dengan Israel, Badan Khusus Fathimiah Bidang Keperempuanan Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran menggelar Webinar dengan tema “Tren Normalisasi Israel, akankah Indonesia Menyusul?”.

IQNA melaporkan seperti dilansir purnawarta.com, Webinar yang terlaksana pada Sabtu (14/5) tersebut menghadirkan narasumber Dr. Dina Y Sulaeman Direktur Indonesia Center for Middle East Studies dan Musa Kazhim al-Habsyi koresponden TV Arab. Dibuka oleh Ketua Fathimiah, Ummul Banin dan dimoderatori oleh Haryati, webinar yang berlangsung melalui platform Zoom dan Youtube ini diikuti lebih dari seratus peserta.

Dalam penyampaian awal materinya, Dina Sulaeman berkata, “Saya sangat mengapresiasi kegiatan yang dilakukan bidang khusus keperempuanan HPI Iran ini dalam membincangkan isu Palestina sebab kaum perempuan juga perlu sadar geopolitik dan saya pikir kita memang perlu mengambil spirit juga dari dari perempuan-perempuan Palestina, terutama dari seorang jurnalis perempuan Palestina yang dalam beberapa hari ini kita baca beritanya bernama Shireen Abu Aqleh yang ditembak oleh tentara Zionis yang ternyata sudah 25 tahun kerap memberitakan kejadian di Palestina.  Ada kalimatnya yang menarik, “Sulit untuk mengubah realitas yang ada sekarang di Palestina, tapi minimalnya saya bisa menyampaikan suara rakyat Palestina  ke dunia.” Dan itu penting kita adopsi, bahwa dengan melihat kekuatan luar yang begitu besar memang sulit mengubah realitas, tapi kita bisa mengambil peran yang kita bisa untuk menunjukkan dukungan kita kepada bangsa Palestina.”

Suarakan Penolakan Normalisasi dengan Israel, Fathimiah-HPI Iran Gelar Webinar

Lebih lanjut, Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran ini dalam penyampaian materinya terkait normalisasi dengan Israel dan kebijakan luar negeri Indonesia lebih dulu mengurai sejarah penjajahan Palestina dan hukum-hukum internasional yang dilanggar Israel. “Israel setidaknya telah melanggar Konvensi Jenewa yang menyebut melarang pemindahan paksa secara individu atau massal serta deportasi orang-orang yang dilindungi dari wilayah pendudukan dan juga melanggar UN Convension on the Rights of Children tentang penahanan dan perampasan hak anak-anak. Di Palestina anak-anak baru dicurigai hendak melukai tentara Israel sudah ditahan berbulan-bulan dan tidak ada pendampingan hukum.” Jelasnya.

Suarakan Penolakan Normalisasi dengan Israel, Fathimiah-HPI Iran Gelar Webinar

“Terkait normalisasi, normalisasi terjadi ketika didahului dengan adanya ketegangan antar dua negara. Jadi dari konsep ini, seyogyanya Indonesia tidak akan pernah melakukan normalisasi dengan Israel, sebab sejak awal Indonesia belum pernah mengakui Israel sebagai negara dan tidak pernah memiliki hubungan apapun sebelumnya, jadi apa yang akan dinormalkan?” Tambah pakar kajian Timur Tengah ini.

Menukil survei dari SMRC tahun 2021, terkait opini publik Indonesia mengenai Palestina dan Israel, Dina Sulaeman menyebutkan sampai saat ini mayoritas publik Indonesia memberi dukungan pada Palestina dan memberikan penolakan pengakuan pada Israel sehingga dengan menimbang opini pubik, pemerintah tidak akan memilih opsi untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. “Terlebih lagi pidato Menteri Luar Negeri Indonesia di PBB dan sikap resmi pemerintah telah menyatakan bahwa yang sedang terjadi di Palestina adalah penjajahan dan perdamaian hanya bisa diwujudkan bila penjajahan dihentikan dan keadilan ditegakkan. Ini adalah pernyataan yang fundamental, bahwa perdamaian bisa tercapai jika penjajahannya dihentikan. Jadi buzzer-buzzer Israel dan kelompok-kelompok kepentingan mengenai soal damai dan toleran dengan Israel tidak akan tercapai dan Indonesia tidak akan menyusul untuk melakukan normalisasi mengingat betapa rakyat Indonesia dalam sejarahnya besar dukungannya pada bangsa Palestina.” Tegasnya.

Pada bagian akhir penyampaiannya, Dina Sulaeman memesankan, “Saya minta kepada semuanya untuk tetap bersuara. Sekarang adalah era digital dan jangan meremehkan apa yang kita tulis di media sosial, sebab berdampak sekali. Contohnya, ada seorang pemuda Palestina yang ketika ditahan ia berusia 13 tahun dan sudah 7 tahun di penjara. Dan ketika ada kesempatan upaya pembelaan, di media sosial digunakan tagar free ahmad manazra sehingga mendapat dukungan dari banyak negara. Dengan adanya pembelaan di dunia maya itu, hukumannya berubah. Jadi hanya sekedar mengetik tagar saja, netizen telah bisa menyelamatkan nyawa manusia. Ini menunjukkan kita bisa berdaya dari apa yang ada di tangan kita dengan menyampaikan opini kita melalui handphone kita.”

“Opini publik itu bisa mempengaruhi kebijakan, sehingga sangat penting. Karena itu kita harus terus bersuara, agar opini publik itu stabil di mayoritas. Tapi kalau kita diam dan tidak peduli, bisa jadi opini publiknya bergeser sebab para buzzer Israel juga terus bergerak. Mari terus kita suarakan dukungan kita pada kemerdekaan sepenuhnya bangsa Palestina.” Tutupnya.

Sementara Musa Kazhim al-Habsyi dalam materinya menyinggung istilah normalisasi yang disebutnya sebagai propaganda yang didengungkan oleh pihak Israel sendiri. “Salah satu kebiasaan media-media Israel adalah menciptakan kata-kata yang memang penuh dengan paradoks dan ambiguitas.  Istilah normalisasi yang diinginkan Israel, jika diteliti secara akademis dan teoritis maksud dan tujuannya jauh panggang dari api. Negara-negara yang disebut normallisasi dengan Israel adalah negara-negara yang baru berdiri sebagaimana Israel yang juga baru berdiri pasca perang dunia kedua jadi sebelumnya tidak pernah menjalin hubungan apapun dan juga tidak pernah bersiteru dan bersitegang sehingga tidak perlu ada normalisasi.” Jelasnya.

Suarakan Penolakan Normalisasi dengan Israel, Fathimiah-HPI Iran Gelar Webinar

Jurnalis dan kontributor TV Arab ini dalam lanjutan penyampaiannya menyebutkan, “Poin lainnya yang perlu dikritisi, mayoritas negara yang disebut normalisasi dengan israel itu adalah rezim-rezim boneka yang tidak memiliki legitimasi yang kuat sebab masyarakatnya sendiri memberi resistensi yang luar biasa atas kebijakan normalisasi tersebut. Rezim-rezim tersebut jika tanpa infus politik, militer dan ekonomi dari kekuatan super power seperti Amerika, hanya dalam satu dua bulan bisa kolaps. Mereka bukanlah rezim dan negara dalam pengertian yang nyata tetapi negara-negara cangkokan yang pada umumnya sangat rapuh. Buktinya Arab Saudi sebagai rezim Arab yang disebut paling kuat di kawasan saja ketika diperhadapkan dengan realitas perang dalam menghadapi Yaman yang nyaris tidak punya kekuatan saja mengalami guncangan dan tidak mampu menang. Apalagi negara-negara kecil seperti Bahrain, UEA dan sebagainya.”

“Jadi normalisasinya negara-negara itu tidak perlu menimbulkan kepanikan, sebab mereka negara-negara yang tidak memiliki kebijakan luar negeri yang independen, otentik dan orisiinil. Jadi tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu power dunia secara maritim. Normalisasi yang mereka lakukan tidak menambah apa-apa bagi eksistensi Israel. Normalisasi negara-negara boneka itu hanya kamuflase atau ibarat balon yang ditiup untuk menciptakan ketakutan dan ilusi di tengah masyarakat Islam seolah-olah telah muncul kekuatan baru yang akan berhadapan dengan kelompok perlawanan anti Israel dan pihak yang mendukung Palestina.” Tambahnya.

Suarakan Penolakan Normalisasi dengan Israel, Fathimiah-HPI Iran Gelar Webinar

Pada bagian akhir penyampaiannya, Musa Kazhim berkata, “Indonesia terlalu kuat dan terlalu paham bahwa memperjuangkan kemerdekaan Palestina adalah beban historis dan tanggungjawab moral kita semua dan itu bukan muslim atau non muslim. Indonesia cerdas untuk memahami mana kata-kata yang menipu  dan kalimat yang diharapkan oleh musuh untuk mengecoh pikiran. Bangsa kita terlalu mulia untuk berhubungan dengan sebuah rezim yang jejak langkahnya adalah penyiksaan, penjajahan, pengusiran dan seluruh kebejatan yang ada di muka bumi. Karena itu bangsa kita tidak mungkin bergeser sedikitpun dari membela Palestina dan mengecam penjajahan sehingga langkah-langkah normalisasi atau memberi muka pada Israel tidak mungkin terjadi.”

“Pada AS saja kita berani mengatakan tidak, apalagi pada bonekanya.” Tutupnya. (HRY)

captcha